FPI dan Rizik Syihab seakan merupakan fenomena unik, menarik dan wacana yang seolah tak memiliki titik final untuk mendialogkannya. Keunikan persona Rizik sesungguhnya tidak saja karena pilihan model pakaian yang serupa dengan gambar pahlawan Diponegoro, juga bukan hanya karena gaya bicaranya yang lantang dalam mengkritik kebijakan pemerintah, pun bukan hanya karena pencinta dan pendukungnya yang banyak serta cenderung fanatic, ataupun karena “tradisi” swiping yang dijalankan oleh FPI pada tempat-tempat yang diduga sebagai sarang mafia penuh maksiat.
Masih sederat pesona yang tidak mungkin untuk disebut satu persatiu. Terlepas dari sejumlah pihak yang “benci” bukan kepalang terhadap sosok Rizik, mungkin berlebihan untuk dikatakan, bahwa persona dan pesona Rizik melampaui deskripsi di atas. Itulah yang unik dari Rizik, yang oleh sebagian orang membandingkannya dengan Khoemeni. Rizik mebuktikan magnetnya yang mempesona, tatkala jelang kedatangannya yang dipandang sebelah mata oleh tokoh selevel Mahfud MD, namun dalam kenyataannya penjemputan atas dirinya melampau dari sosoknya yang cenderung disepelehkan oleh Mahfud.
Berjubelnya para penjemput Rizik yang tidak diduga dan disangka oleh analisis tajam Menkopolhukan, menurut Rocky Gerun adalah kegagalan inteljen. Seolah ingin menunjukkan taring dan bersembunyi dari kekurang jelian dalam mengamati peluang membeludagnya penjemputan atas Rizik, jadilah Kapolda DKI Jaya dan Kapolda Jawa Barat sebagai korban dari kegagalan istana.
Kegagalan dalam memprediksi persona dan magnet Rizik yang menyebabkan kerumunan massa di era pademi, selain mematahkan karir mentereng Kapolda DKI dan Jawa barat juga menjadi alasan mempidanakan Rizik di kemudian hari. Rizik memang bermagnet, bukan hanya kata-katanya diikuti oleh pengikutnya, tetapi sosok Rizik itu sendiri menyimpan varian magnet, yang jika cerdas memanfaatkannya akan memberi keuntungan. Rizik kini bak jualan yang laris manis, sejumlah politisi datang untuk menarik simpatinya, wajar karena daya dukung Rizik cukup signifikan untuk mendongkrak suara partai atau politisi.
Perhatian yang sedemikian besar kepada sosok pribadi Rizik, bahkan kini menyentuh atau seolah menjadi salah satu taktik dan strategi oleh sebagian elit Kepolisian untuk memantik perhatian Presiden dan sebagian publik “pembenci” Rizik. Bersikap tegas terhadap Rizik, boleh jadi akan mentahbiskan sutradaranya sebagai sosok petugas yang lugas, tegas tanpa kompromi dan paling NKRI.
Memberangus Rizik dan para pengikutnya kini jadi batu loncatan efektif untuk menggoda pujian dari Presiden dan para pesohor partai berkuasa. Fenomena ini setidaknya tampak, pada upaya adu cepat menagani kasus atau bahkan mentersangkakan Rizik dan pengikutnya dalam beberapa hari terakhir ini. Baik yang ditunjukkan oleh Kapolda DKI Jaya, Jawa Barat maupun pengambil alihan kasus km. 50 oleh Kabareskrim Mabes Polri.
Fenomena tersebut, oleh sebagian pengamat diduga terkait erat dengan upaya atau maneuver sosok tertentu di lingkungan Korps berbaju cokelat tersebut untuk melangkah dan melenggang pada posisi puncak di Trunojoya 1. Oleh karena itu, membidik Rizik dan atau kemampuan memindahkan tempat istirahat Rizik dari Mega Mendung dan atau Petamburan ke kamar berjeruji besi dipandang sebagai salah satu indicator ketegasan dan mampu melayani keinginan istana.
Adu cepat, untuk sementara dimenangkan oleh Irjen Fadhil Imran yang dengan ketegasannya pada Sabtu malam (12/12/2020) tidak mengizinkan Rizik untuk balik beristirahat ke kediamannya guna sejenak bercenkrama dengan isteri,anak, cucu dan pengikut setianya. Pertanyaannya kemudian adalah apakah semuanya efektif untuk membungkan Rizik atau bahkan menjadikan FPI terlantar untuk kemudian menjadi fosil sejarah.
Tidak mudah menjawabnya, boleh jadi siasat memenjarakan Rizik dilakukan dalam Rangka membungkam dan melumpuhkan gerak langkah tegap dari FPI, selain untuk memantik pujian istana. Namun jika belajar dari fakta empiris dari segala taktik untuk “menghajar” Rizik dan FPI, mulai dari pemenjaraan Rizik pada insiden Monas 1 Juni 2008, pencabutan izin FPI oleh Mendagri hingga pengasingannya di Saudi Arabiyah, terbukti kurang efektif, untuk menahan gerak FPI, upaya-upaya yang disebutkan di atas bukan memberangus sosok Rizik dan menjadikan pengikutnya lari dari Petamburan. Dalam pengamatan saya yang mungkin kurang jeli, justru taktik melumpuhkan Rizik dengan instrument kekuatan kekuasaan menjadikan Rizik semakin mempesona, bahkan pengakuan atas sosoknya yang ber-aura boleh jadi kini datang dari mereka yang sebelumnya memposisikan diri sebagai anti tesa dari Rizik.
Kalau penjara diasumsikan sebagai ruang untuk membatasi Rizik, boleh jadi asumsi itu benar, untuk sebagian orang dan atau kepada para pecundang, tetapi tidak bagi Rizik. Penjara betul membatasi langkah Rizik menuju Petamburan atau ke Mega Mendung dan atau membatasi runag gerak Rizik untuk memberi pengajian kepada para santrinya. Namun penjara sejatinya tidak mampu membendung pikiran dan aura Rizik, bahkan penjara menjadikan Rizik semakin bersemangat.
Lambaian dua tangan Rizik yang terbelenggu ketika digelandang masuk ke mobil yang mengantarnya ke tahanan, seolah mengirim pesan tentang perjuangan yang niscaya berkelanjutan dan dilakukan dengan penuh optimism, serta keyakinan tentang impact positif dari jeruji besi bagi para pejuang ideologis. Bukankah sejarah mengajarkan kepada kita, bahwa para pejuang kemerdekaan yang di penjara mulai dari Pangeran Di Ponegoro hingga Soekarno, semakin membuat aura kewibawaan mereka menjadi lebih bermakna di mata rakyat Indonesia. Penjara bagi pejuang ideologis seolah menjadi “wajib” untuk dilalui.
Bui adalah tempat bagi para pejuang untuk semakin mematangkan jiwa kepejuangannya, karena di dalam ruang sempit tersebut para tahanan intelek semakin leluasa untuk berkontempolasi, memahami sekaligus mendalami makna sebuah perjuangan. Tentu Rizik akan belajar dari kasus para pendahulunya yang menjadikan penjara sebagai tempat transit untuk naik pada maqam yang lebih tinggi dan terhormat.
Rizik pastinya tidak lupa dengan sejarah pemenjaraan Buya Hamka oleh Rezim Soekarno, yang kemudian menghasilkan karya monumental tafsir al-Azhar, pun Rizik tidak akan mengabaikan fakta tentang kemampuan Buya untuk tetap memberi penghormtan terhadap sosok proklamator tersebut dengan menjadi Imam atas Jenazah Bung Karno.
Rizik-pun akan belajar dari keteguhan Imam Ahmad yang rela untuk dipenjara demi mempertahankan pendapatnya dari intimidasi penguasa pada zamannya. Atau konsitensi Galileo Galilei dalam mempertahankan kebenaran pendapatnya sekalipun nyawa mejadi taruhannya. Dan paling penting, saya berkeyakinan, Rizik tidak akan menaruh dendam terhadap Irjen Fadil Imran, karena Rizik paham betul jika apa yang dilakukan oleh Fadhil tidak berasal dari nuraninya, tetapi lebih untuk melayani syahwat istana dan atau melayani ambisi untuk meloncati jabatan atau karir mentereng di Korps Kepolisian, sesuatu yang manusiawi, sungguhpun jauh dari etika.
Jika penahanan atas Rizik berangkat dari hipotesa untuk membungkam dan menahan laju atau melemahkan kadar kesetian dan militansi perjuangan FPI, maka sangat boleh jadi hipotesa tersebut bias untuk tidak mengatakan keliru. Mengapa? karena pikiran dan ideology tidak pernah bisa dipenjarakan, gerak Rizik adalah gerakan yang dibangun di atas pikiran bebasis ideology. Kata guru saya, ideology tidak pernah bisa dimatikan, karena dia adalah nyawa yang tidak selalu butuh terhadap jasad. Jasad hanyalah sebagai tempat transit, jika tubuhnya dikubur paksa, maka nyawa dari ideology akan melakukan proses reinkarnasi demikian seterusnya.
Jika ideology bisa dikubur, maka kita tidak pernah dapat menikmati kemerdekaan, jasad para pejuang secara alami akan menua lalu mati terkubur, tetapi pikiran keperjuangan yang membatu dalam ideology tidak pernah ikut tertanam. Dengan demikian, sulit kiranya untuk melumpuhkan Rizik dengan cara memenjarakan dan atau bahkan memberondongnya dengan peluru hingga mati sekalipun.
Namun demikian, menurut hemat saya Rizik bukan tidak bisa untuk bersatu, karena Rizik paham betul tentang arti “Persatuan Indonesia” yang tertera dalam sila Pancasila. Bersatu dengan Rizik sangat mungkin melalui dialog bersahaja untuk membangun kesepahaman. Karena sejatinya Rizik juga mencintai bangsa ini sebagaimana kita yang mencitani keindonesian. Tentu saja Rizik tidak ingin untuk selalu distigma sebagai pemecah belah bangsa, karena bukti empiris menunjukkan giat filantropi FPI selalu melintas wilayah, budaya dan agama.
Berdialog atau dalam bahasa sila Pancasila, “Permusyawaratan yang adil dan beradab”, adalah jalan ampuh untuk merajut kebersamaan dan sama-sama berjuang membangun Indonesia bersama Rizik dan elemen bangsa lainnya. Wallahu a’lam bi al-tsawab.
Oleh:
Muhammad Alifuddin
(Sekretaris Umum Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi-Tenggara)