Sejarah Sultan Himayatuddin, yang Kini Menjadi Pahlawan Nasional

waktu baca 9 menit
Sabtu, 9 Nov 2019 19:29 0 1422 redaksi

Penulis : La Ode Abdul Munafi (Pemerhati Sejarah dan Kebudayaan)

Salah satu identifikasi bangsa besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya. Siapakah yang disebut pahlawan? Singkatnya, pahlawan adalah orang yang melampaui dirinya. Pahlawan adalah orang (sudah alm) yang menonjol dalam lingkungan sosialnya karena keberanian dan pengorbanannya membela kebenaran.

Ia adalah aktor/pelaku sejarah yang menjadi orientasi/panutan karena nilai-nilai perjuangannya dapat memberi inspirasi dan perbuatan bagi masyarakat dan bangsa. Merekalah salah satu faktor penggerak utama sejarah. Dalam dimensi inilah, Sultan Himayatuddin memperoleh tempat dalam ruang kognisi (ingatan kolektif) rakyat Buton. Kegigihannya melawan VOC/Belanda di Buton bukan saja masih diingat tetapi tertanam dan terus hidup dalam sanubari rakyat. Nama besarnya yang dimonumentalkan menjadi nama beberapa sarana publik merupakan refleksi penghormatan akan jasa besar yang pernah diukirnya ±3 abad silam di Negeri Khalifatul Khamis itu.

Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi Ibnu Sultani Liyauddin Ismail Muhammad Saidi yang memiliki nama kecil La Karambau dan kelak dimasa gerilya melawan VOC/Belanda diberi gelar Oputa yi Koo (sultan di hutan) oleh rakyat adalah putra Sultan Buton ke-13; Liyauddin Ismail. Ia naik tahta pada 1750 sebagai Sultan Buton ke-20 menggantikan Sultan Saqiuddin Darul Alam (LaNgkariyriy/Oputa Sangia). Sebelum menjadi sultan, ia menjabat Kapitalau Matanaeo (Panglima Kawasan Timur) yang selama penugasannya berhasil mengkoordinasikan pembangunan benteng-benteng pertahanan dihampir seluruh wilayah Kesultanan Buton.

Dari 37 orang Sultan Buton yang memerintah selama 38 masa pemerintahan yang berlangsung ±4 abad (1541-1960), Himayatuddin lah satu-satunya sultan yang menjabat dua kali; pada 1750-1752 sebagai sultan ke-20 dan pada 1760-1763 sebagai sultan ke-23. Ciri menonjol dalam dua masa pemerintahannya bahkan setelah tidak menjabat lagi sebagai sultan hingga wafatnya adalah rentetan konflik dan perang yang dikobarkannya melawan VOC/Belanda.

Kehadiran VOC/Belanda di Buton sejak 1613 memberi warnah tersendiri bagi dinamika sejarah Buton, setidaknya pada dua hal: 1) sebagai sekutu bagi Buton dalam menghadapi ancaman kekuatan-kekuatan lain, dan 2) sebagai seteru, karena VOC/Belanda menjadi sumber ancaman kedaulatan Buton (Zuhdi, 2010,2011). Dalam konteks yang disebut terakhir, pernyataan persekutuan Buton–Belanda sebagai ikatan ”persekutuan yang abadi” menjadi tidak benar, dan tampaknya aspek ini yang belum banyak mendapat perhatian sejarahwan.

Sebagai penerus para sultan sebelumnya, Himayatuddin tidak dapat melepaskan diri dari keharusan mengimplementasikan butir-butir perjanjian VOC–Buton yang ditandatangani sejak 1613. Isi perjanjian ini awalnya hanya mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak untuk saling membantu menghadapi musuh-musuhnya. Kontrak 1613 kemudian menjadi pegangan sultan-sultan Buton selanjutnya dalam berhubungan dengan VOC.

Perjanjian dalam bentuk kontrak yang memperlihatkan dominasi Belanda atas Buton tertuang dalam kontrak 1667. Kontrak ini memuat beberapa pasal tambahan yang memberatkan Buton yaitu; pengaturan (pembatasan) aktivitas berlayar orang Buton, pembebasan pajak kapal-kapal VOC di pelabuhan Buton dan ekstirpasi atau penghancuran tanaman rempah-rempah Buton, khususnya di Kepulauan Tukang Besi yang lazim disebut timpu-pala. Bagi Himayatuddin, kontrak 1667 dinilai sebagai upaya sistematis VOC meluluh-luntahkan sendi-sendi perekonomian Buton sekaligus penghinaan atas bangsanya. Kerjasama Buton-VOC yang telah berjalan sebelumnya kemudian dibatalkannya karena dinilai tidak memberi manfaat bagi negerinya.

Tampilnya Himayatuddin sebagai sultan yang berani memutus mata rantai kontrak-kontrak yang membelenggu Buton mengakibatkan hubungan Buton-VOC di masa pemerintahannya berada pada titik terendah. Sikap Himayatuddin yang tidak mau tunduk pada VOC menjadi determinan factor meletusnya perang Buton. Ligtvoet (1878) menulis, dimasa pemerintahan Sultan Himayatuddin telah terjadi sesuatu yang menempatkan Buton benar-benar berada pada kondisi sulit karena perselisihannya dengan VOC. Sikap tegas sang sultan berakibat pada ketegangan hubungan diplomatik Buton-VOC.

Suatu peristiwa yang kemudian menjadi sebab langsung meletusnya perang Buton–VOC adalah penyerangan kapal VOC (Rust en Werk) di pelabuhan Baubau oleh pelarian bekas juru bahasa Belanda di Bone bernama Franz Fransz. Tatkala Rust en Werk berlabuh, sultan memerintahkan petugas pelabuhan menarik pajak atas kapal tersebut; sesuatu yang tidak lazim dalam perhubungan Buton–VOC sebelumnya.

Kondisi ini menyebabkan pertikaian petugas pelabuhan dengan awak Rust en Werk. Kapal yang seharusnya sudah akan melanjutkan pelayaran ke Maluku itu tertahan beberapa hari di pelabuhan Baubau karena tidak diizinkan berlayar sebelum membayar pajak pelabuhan. Franz Fransz cs yang juga tengah berlabuh di pelabuhan Baubau memanfaatkan kemelut ini dengan menyerang awak Rust en Werk, merampok muatan kapal, lalu lari ke Kobaena. Atas tragedi yang menimpa kapal tersebut, petinggi VOC di Makasar menimpakkan kesalahan terhadap Buton.

Sultan Himayatuddin dituduh bertanggungjawab karena membiarkan penyerangan atau setidaknya tidak memberi perlindungan terhadap kapal VOC itu sebagaimana ketentuan kontrak 1613. Lebih dari itu, VOC malah mencurigai Himayatuddin berada dibalik skenario penyerangan tersebut. Sebagai ganti kerugian atas kapal Rust en Werk, Buton kemudian diganjar hukuman harus menyerahkan 1000 budak (tenaga kerja) pada VOC dalam kurun 1 tahun. Ultimatum VOC ditentang sultan yang berakibat pada ketegangan hubungan kedua belah pihak. VOC berkali-kali mengingatkan bila ultimatum tidak segera diindahkan, Buton akan diserang.

Bersamaan dengan kemelut ini, Buton juga tengah disibukkan dengan upaya menghalau pendudukan Gowa dan Ternate atas sebagian wilayahnya. Kemelut ini menyebabkan terpecahnya kekuatan internal kesultanan antara kalangan moderat yang menghendaki menjalankan ultimatum VOC secara bertahap dan penganut garis keras (pengikut Himayatuddin) yang menentang VOC. Memburuknya situasi politik ini menyebabkan dewan kesultanan meminta Himayatuddin meletakkan jabatan guna menyelamatkan negara dari perpecahan internal sekaligus meredam rencana penyerangan VOC atas Buton. Pada 1752, Himayatuddin meletakkan jabatan yang diganti Sultan Hamim Sakiyuddin (Sultan Buton ke-21).

Penggantian Himayatuddin dari jabatan sultan rupanya tidak menyurutkan amarah VOC apalagi kewajiban menyerahkan 1000 budak tidak kunjung dipenuhi Buton. Pada 1755, VOC akhirnya mengirim ekspedisi militer (ekspedisi perang) ke Buton dibawah pimpinan Kapt. J.C. Rijsweber. Sesuai catatan Rijsweber, dalam ekpedisi ini, VOC mengeluarkan anggaran perang 108,19½ rijksdaalders, mengerahkan 4 sersan, 4 kopral, 4 penabuh tambur dan peniup trompet serta 140 serdadu.

Dalam Koleksi Arsip Makasar Inventaris No. 73 Thn. 1755-1756 (Zuhdi, 2011) tercatat bahwa VOC lah yang menyebut eskpedisi militernya ke Buton pada 1755 itu sebagai oorlog (ekspedisi perang). Realitas ini berbeda dengan ekspedisi-ekspedisi militer VOC/Belanda di daerah lain yang umumnya disebut oproerier (ekspedisi menghadapi perusuh) atau opstander (ekspedisi menghadapi pembrontak). Catatan VOC ini menarik dalam membandingkan dinamika konflik dan perlawanan daerah-daerah terhadap VOC/Belanda. Dari catatan ini dipahami, Buton masuk kategori daerah yang sungguh-sunguh diperangi, bukan memerangi sekelompok perusuh/pemberontak pada sebuah daerah melainkan memerangi daerah bersangkutan secara total.

Dalam ekspedisi perangnya di Buton 1755, VOC menghadapi perlawanan semesta rakyat Buton. Ligtvoet (1887) menulis, sejumlah 5000 lebih tentara rakyat dimobilisasi dalam komando Himayatuddin (pembantu utama Sultan Hamim). Meletuslah Perang Buton, yang diawali penyerbuan pasukan VOC atas Keraton Wolio pada dinihari 24 Pebruari 1755. Dalam serangan mendadak ini, anak dan cucu Himayatuddin (WaOde WaKato dan WaOde Kamali) yang masih belia tidak sempat diselamatkan dan menjadi sandra yang dibawah pergi Belanda.

Dalam tradisi lokal, kedua anak ini dikenang dengan ungkapan mia yi lingkaakana Walanda (orang yang dibawah pergi Belanda). Setelah berlangsung pertempuran sengit dengan persenjataan yang tidak seimbang, sebagian tentara rakyat diarahkan mundur ke hutan. Pertahanan utama tentara kesultanan adalah istana Sultan Hamim dan kediaman Himayatuddin.

Guna menghindari jatuhnya korban lebih banyak, Himayatuddin dan pasukannya kemudian meninggalkan keraton setelah mengawal Sultan Hamim dan pembesar lainnya mengungsi ke Benteng Sora Wolio. Ia mundur ke hutan hingga Gunung Siontapina (wil. Lasalimu). Ditempat inilah, Himayatuddin mengorganisir kembali pasukannya dengan mengobarkan perang jihat terhadap Belanda. Gunung Siontapina akhirnya ditetapkan menjadi basis perjuangan dan disinilah dimulai periode gerilya Himayatuddin melawan VOC/Belanda.

Pada 1759 Sultan Hamim wafat dan diganti Sultan Rafiuddin Malik Sirullah (sultan ke-22). Normalisasi hubungan diplomasi Buton–VOC di era sultan yang hanya memerintah ±1 tahun ini gagal, sementara bayang-bayang ancaman penetrasi Gowa dan Ternate tidak pula berkesudahan. Negara diperhadapkan lagi dengan ancaman besar yang sewaktu-waktu dapat meletus. Atas berbagai pertimbangan, pada 1760 dewan kesultanan akhirnya memanggil Himayatuddin yang tengah memimpin gerilya dibelantara Gunung Siontapina untuk dilantik kembali menjadi sultan.

Pelantikannya sebagai sultan ke-23 ini didasari pertimbangan karena ia dipandang memiliki karakter kuat, tegas, dan sangat anti Belanda sehingga dinilai mampu memimpin negara dalam kondisi yang penuh ancaman itu. Diperiode kedua masa pemerintahannya, Himayatuddin tetap menunjukkan konsistensi tidak mau tunduk pada Belanda. Tuntutan ganti kerugian VOC, baik terhadap kapal Rust en Werk maupun biaya perangnya di Buton tidak diindahkan. Berkali-kali surat maupun perutusan VOC dikirim ke Buton membujuk Himayatuddin memulihkan hubungan diplomatik, sang sultan malah menjawab dengan mengobarkan api peperangan. Hubungan Buton-VOC dimasa pemerintahannya yang kedua lagi-lagi dipenuhi konflik dan peperangan.

Setelah stabilitas negara berhasil dipulihkan dalam masa ±3 tahun kepemimpinannya diperiode kedua, pada 1730 Himayatuddin diganti Sultan Muh. Qaimuddin (sultan ke-24/Oputa Galampa Bhatu). Ia kemudian memilih kembali menetap di Gunung Siontapina dan terus menggelorakan semangat jihat fisabilillah melawan Belanda.

Pesisir timur dan selatan pantai Buton dikuasai pasukan gerilyanya yang kerap melakukan serangan mendadak terhadap kapal-kapal VOC. Dari puncak Gunung Siontapina, komando jihat sang panglima besar itu dikumandangkan ke seantero negeri. Belanda dibuat tidak berdaya atas konsistensi perlawanannya yang tidak pernah surut hingga akhir hayatnya. Berkali-kali ekspedisi penangkapan atas dirinya dilakukan Belanda, selama itu pula gagal.

Dalam usia ±86 tahun (1776), Himayatuddin wafat di puncak Gunung Siontapina dalam masa gerilyanya melawan Belanda. Sepanjang sejarah perjuangannya (±26 tahun) terhitung sejak dilantik menjadi sultan ke-20 (1750) hingga wafatnya (1776), ia tidak pernah tunduk dan menyerah pada Belanda meskipun harus hidup menderita dalam gerilya. Ia rela meninggalkan kedudukannya demi kebebasan bangsanya meskipun anak dan cucunya harus menjadi sandra Belanda.

Jenazah sang panglima agung itu dikebumikan didekat makam sang ayah (Sultan Liyauddin) di Lawele tetapi atas permintaan dewan kesultanan, kerangka jenazahnya kemudian dipindahkan ke kompleks Lelemangura di Keraton Wolio. Atas konsistensi perlawanannya terhadap Belanda yang menjadikan belantara Gunung Siontapina sebagai basis perjuangan, ia digelari rakyat dengan sebutan Oputa yi Koo (sultan di hutan). Melalui sebutan Oputa yi Koo atas dirinya, Himayatuddin sesungguhnya telah menjadi pahlawan bagi rakyat Buton. Permaisuri yang ditinggalkannya pun (karena Himayatuddin lebih dulu wafat) disebut rakyat sebagai Bhaluna Oputa yi Koo (janda sultan di hutan).

Sang pejuang besar yang legendaris itu telah lama tiada, tetapi realitas perjuangannya melawan Belanda telah menjadi referensi berharga yang mementahkan stigmatisasi sejarah bahwa Buton adalah sekutu abadi Belanda. Stigma sejarah seperti inilah yang menyebabkan Buton selama ini terabaikan dalam khasanah pustaka sejarah nasionalisme Indonesia. Karena keterabaian itu pula beberapa peristiwa heroik yang justru berdimensi nasionalisme (kepahlawanan) di negeri ini juga tidak terungkap.

Karya-karya kesejarahan Buton dalam hubungannya dengan Belanda belum sampai mengungkap realitas perlawanan terhadap Belanda apalagi berupa realitas perang, atau dengan kata lain mengabaikan fakta konflik dan bahkan perang melawan Belanda. Adalah Sultan Himayatuddin (Sultan Buton ke-20 dan 23) yang terus menerus (±26 tahun) mengobarkan perlawanan atas usaha-usaha cengkeraman Belanda terhadap negeri ini. Dalam perjalanan sejarah Bangsa Indonesia, Sultan Himayatuddin adalah satu diantara deretan tokoh yang telah mengempiriskan peran besar dalam membela harkat dan martabat bangsa dari cengkeraman Belanda.

Penulis :
Editor :




LAINNYA
error: Content is protected !!