Konut, Britakita.net
Gelombang penolakan terhadap aktivitas pertambangan kembali mengemuka di Kecamatan Wiwirano, Kabupaten Konawe Utara. Warga tiga desa Culambacu, Tetewatu dan Wawoheo menyatakan sikap tegas menolak kegiatan eksploitasi yang dilakukan PT Anugrah Sakti Konstruksi Utama (PT ASKON) di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) milik PT Tataran Media Sarana (PT TMS).
Penolakan tersebut disuarakan melalui Forum Lingkar Tambang Desa Culambacu, Tetewatu dan Wawoheo, yang menilai aktivitas tambang PT ASKON telah menimbulkan dampak serius terhadap lingkungan dan lahan pertanian warga.
“Kami menolak karena aktivitas PT ASKON telah merusak tanaman produktif kami seperti kopi dan kelapa. Sampai saat ini belum ada kompensasi atau tali asih yang dijanjikan. Janji tinggal janji,” tegas Asrudin, perwakilan masyarakat dalam pernyataan sikapnya, Kamis (9/10/2025).
Masyarakat juga menilai bahwa kegiatan tambang dilakukan tanpa adanya sosialisasi atau konsultasi publik sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang. Mantan aktivis jebolan Hijau Hitam menegaskan bahwa penolakan tersebut murni lahir dari kehendak masyarakat, bukan karena pengaruh pihak luar.
“Kami tidak anti investasi. Tapi kami menuntut keadilan. Perusahaan harus menghormati hak masyarakat, bukan datang lalu menambang tanpa izin sosial,”tegas Asrudin.
Hal senada ditegaskan Ashar Lamaliga. Ia menuding perusahaan telah mengabaikan prinsip dasar pengelolaan lingkungan dan tanggung jawab sosial sebagaimana diatur dalam berbagai regulasi nasional, termasuk UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara dan PP Nomor 22 Tahun 2021 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungkungan.
Ashar Lamaliga menilai penolakan warga terhadap aktivitas PT ASKON didasarkan pada sejumlah ketentuan hukum, diantaranya UU Nomor 3 Tahun 2020, yang mewajibkan perusahaan melaksanakan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah tambang.
“Pasal 145 ayat (1) UU Minerba, yang menegaskan hak masyarakat terdampak untuk memperoleh ganti rugi yang layak. Kemudian PP Nomor 22 Tahun 2021, yang mewajibkan pelibatan masyarakat dalam proses penyusunan AMDAL dan konsultasi publik. Nah, ini yang tidak dilakukan oleh perusahaan,”kata Ashar.
Dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) yang menegaskan bahwa bumi dan kekayaan alam digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. “Kenyataan dilapangan, semua regulasi diduga ditabrak oleh perusahaan dan mengabaikan hak-hak warga dilingkar tambang,”sambung Ashar.
Selain itu, masyarakat juga merujuk pada prinsip FPIC (Free, Prior, and Informed Consent), Konvensi ILO No. 169, dan Konvensi Aarhus yang memberikan hak bagi masyarakat terdampak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan lingkungan.
Sementara Ketua Forum Komunikasi Hukum dan Lingkungan Hidup Sulawesi Tenggara (Forkam HL Sultra), Agus Dermawan turut bersuara. Menurut jebolan Magister Hukum Unissula Semarang mendesak kepada pemerintah daerah dan pusat untuk mengevaluasi keberadaan PT Askon diwilayah IUP PT TMS yang mengabaikan hak-hak warga lingkar tambang.
“Perusahaan segera menyelesaikan kompensasi tanaman tumbuh kopi dan kelapa seluas 100 hektar milik warga. Kemudian laksanakan sosialisasi AMDAL secara terbuka kepada masyarakat terdampak,”tegas Agus Dermawan.
Selain itu, perusahaan wajib menjalankan Program Pemberdayaan Masyarakat (PPM) sesuai ketentuan perundang-undangan. Terakhir menghentikan sementara seluruh aktivitas tambang di wilayah tiga desa hingga proses sosialisasi dan ganti rugi diselesaikan.
“Bila tuntutan tidak diindahkan, masyarakat akan melakukan aksi lanjutan di Jakarta, tepatnya di kantor DPR RI, Kementerian ESDM, dan Mabes Polri,”tandasnya.